Semua untuk Hindia by Iksaka Banu
[No.335]
Judul : Semua untuk Hindia
Penulis : Iksaka Banu
Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia
Cetakan : I, Mei 2014
Tebal : 153 hlm
ISBN : 978-979-91-0710-7
Buku ini merupakan kumpulan cerpen yang seluruh kisahnya terjadi saat
Indonesia masih bernama Hindia Belanda. Kisah-kisahnya merentang dari
masa kedatangan Cornelis de Houtman pada 1596 hingga masa-masa awal
Indonesia merdeka dari sudut pandang tokoh-tokoh utamanya yang beragam
seperti wartawan perang, polisi, tentara, pastor, administratur
perkebunan tembakau, dokter tentara, hingga nyai.
Yang membuat kisah-kisah dalam buku ini menjadi menarik adalah hampir
semua konflik yang terjadi pada tokoh-tokohnya terkait dengan
peristiwa-peristiwa dan tokoh-tokoh sejarah yang pernah terjadi di masa
kolonialisme. Seperti pada cerpen Semua untuk Hindia yang
dijadikan judul buku ini kita akan disuguhkan sebuah kisah tentang
seorang wartawan Belanda yang bersahabat dengan gadis kecil keluarga
Puri Kesiman yang kelak menewaskan diri dalam Perang Puputan di Bali. Di
cerpen ini dikisahkan bagaimana si wartawan melihat dengan mata
kepalanya bagaimana tragis dan dahsyatnyaPerang Puputan
Sekonyong-konyong dari arah berlawanan muncul iringan panjang.
Tampaknya bukan tentara, melainkan rombongan pawai atau sejenis itu.
Seluruhnya berpakaian putih dengan aneka hiasan berkilauan. Tak ada
usaha memperlambat langkah, bahkan ketika jarak sudah demikian dekat,
mereka berlari seolah ingin memeluk setiap anggota Batalion 11 dengan
hangat. Segera terdengar letupan senapan, silih berganti dengan aba-aba
dan teriak kesakitan.
...........................
Nyaris aku terkulai menyaksikan pemandangan ngeri di mukaku:
Puluhan pria, wanita, anak-anak, bahkan bayi dalam gendongan ibunya,
dengan pakaian termewah yang pernah kulihat, terus merengsek ke arah
Batalion 11 yang dengan gugup menembakkan Mauser mereka sesuai aba-aba
komandan batalion
Rombongan indah ini tampaknya memang menghendaki kematian. Setiap
kali satu deret manusia tumbang tersapu peluru, segera terbentuk lapisna
lain di belakang mereka, meneruskan maju menyambut maut.
(hlm 69-70)
Selain peristiwa perang puputan di Bali, penulis juga menyuguhkan sebuah kisah berjudul Bintang Jatuh
yang berlatar pemberontakan etnis Tionghoa terbesar di Hindia pada
1740. Di cerpen ini dikisahkan sang tokoh utama, seorang perwira
menengah Hindia mendapat tugas rahasia untuk membunuh Gustaff van
Imhoff, saingan gubernur Jenderal Adriaan Valckeiner. Di cerpen ini kita
tidak hanya mendapat gambaran bagaimana konflik batin si tokoh dan
bagaimana pemberontakan entis Tionghoa bisa terjadi melainkan juga
bagaimana gambaran kondisi politik di Hindia di masa itu dimana terjadi
persaingan dan perseteruan dua buah kubu elite Belanda antara Gubernur
Jenderal Hindia Adrian Valckeiner dengan saingannya Gustaaf Willem van
Imfoff
Selain menampilkan tokoh-tokoh Belanda terkenal yang namanya terekam
dalam sejarah, penulis juga memunculkan nama-nama pahlawan Nusantara di
masa itu seperti Pangeran Diponegoro dan Untung Surapati. Pangeran
Diponegoro muncul sekilas dalam kisah berjudul Pollux nama kapal
layar yang mengantar Diponegoro ke tempat pengasingannya di Manado. Di
cerpen yang mengambil sudut pandang seorang tawanan perang Belanda
berkebangsaan Belgia ini kita akan melihat bagaimana Sang Pangeran walau
seorang tawanan Belanda namun sejak ditawan di lantai dua Balai kota (Stadhuis)
Batavia hingga saat akan berangkat ke Manado diperlakukan dengan sangat
istimewa oleh tentara kerajaan Belanda yang memang sangat
menghormatinya. Di cerpen ini pula kita akan melihat konflik antara
Belgia dan Belanda yang terjadi saat itu
Jika Pangeran Diponegoro muncul sekilas saja dalam cerpen Pollux, maka Untung Surapati mendapat porsi cukup banyak dalam cerpen Penunjuk Jalan.
Cerpen ini mengisahkan seorang dokter tentara Belanda yang tersesat di
hutan bersama temannya yang terluka. Di tengah hutan sang tokoh bertemu
dengan seorang yang memperkenalkan diri sebagai Pangeran Kebatinan
yang ternyata adalah Untung Surapati. Di cerpen ini lewat dialog sang
dokter dengan Untung Surapati terungkap bagaimana Belanda mencoba
membangun Batavia sebagai 'Belanda di daerah tropis' yang ternyata
berakibat buruk pada sanitasi kota.
"...sejak direbut Kompeni enam puluh tahun silam, kota itu
menjelma menjadi kota terkutuk. Sungai Ciliwung dicabik menjadi puluhan
kanal sehingga arusnya melemah. Lumpur mengendap di sana-sini,
menciptakan dinding-dinding parit yang becek. Kalau sedang pasang,
seisi laut menerjang kota . Saat surut, bangkai ikan serta kotoran
manusia terperangkap di selokan dan parit-parit tadi. Menebarkan udara
tidak sehat."
"....pembesar Batavia mungkin orang-orang romantis yang rindu
kampung halaman. Bermimpi memindahkan Negeri Belanda ke sini. Padahal
iklim dan tanahnya sangat berbeda. Kanal yang semula digali untuk
pengairan dan lalu lintas justru mempercepat penyebaran penyakit ke
seluruh kota."
(hlm 123)
Masih banyak kisah-kisah menarik berbalut sejarah Indonesia di zaman
kolonial yang bisa kita temukan dalam ketigabelas cerpen yang setiap
judulnya dihiasi ilustrasi hitam putih karya Yuyun Nurrachman. Selain
tentang peperangan ada juga kisah-kisah humanis yang menyentuh seperti
kisah administratur perkebunan tembakau Deli yang terpaksa harus
mengusir gundik dan anak-anak yang dicintainya menjelang kedatangan
istrinya (Racun untuk Tuan) , kisah nyai yang disayang tuannya namun berselingkuh (Stambul Dua Pedang) , kehidupan dan sulitnya menjadi seorang indo (Gudang Nomor 012B) , dll.
Semua cerpen dalam buku ini yang juga pernah di muat di beberapa media
cetak (Koran Tempo, Media Indonesia, majalah internal MPR, dll) ini
tersaji dengan apik, rinci, dan dramatik. Sayangnya hampir semua tokoh
utama dalam cerpen-cerpen ini adalah seorang Belanda baik totok maupun
Indo (peranakan Belanda). Hanya ada satu cerpen yang tokoh utamanya
seorang pribumi, yaitu dalam cerpen "Stambul Dua Pedang". Andai
saja penulis memberikan porsi lebih banyak pada tokoh-tokoh pribumi
tentunya akan diperoleh sebuh gambaran utuh dan berimbang mengenai
Hindia dari sudut pandang pribumi maupun orang-orang Belanda.
Terlepas dari itu hadirnya buku ini memberi warna tersendiri dalam dunia
sastra kita, tema kolonialisme dalam cerpen termasuk tema yang jarang
digali oleh cerpenis-cerpenis kita.. Karena hadirnya buku ini patut
diapresiasi dengan sebaik-baiknya. Selain itu unsur kesejarahan yang
kental dalam setiap kisahnya membuat kita dapat membaca dan memahami
berbagai peristiwa sejarah dengan cara yang menyenangkan.
@htanzil
Source : bukuygkubaca.blogspot.com